Pendakian Gunung Buthak

18 November 2018, Hari dimana saya menantang diri saya sendiri untuk melakukan perjalanan pendakian di Gunung yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya.

Mengapa menantang diri sendiri?

  • Menantang diri ini adalah pekerjaan melawan “musuh” yang lebih sulit daripada lawan nyata sekalipun.
  • Menantang diri, artinya kita siap mengalahkan keburukan – keburukan yang ada dalam diri dan memperbaikinya secara kontinyu.
  • Menantang diri, adalah perang tanpa akhir. Jika menang, akan ditantang ujian yang lebih berat lagi, jika kalah maka gagal dalam kehidupan, dan yang mengerikan gagal pula mendapat kebaikan setelah kehidupan.
  • Menantang diri sendiri, adalah tentang mengalahkan “kondisi kita” kemarin, sehingga hari ini menjadi pribadi baru yang lebih baik. Jika hari ini kita berhasil lebih baik dari kemarin, maka hari ini kita menjadi pemenang.

Lalu, Apa sih pentingnya menantang diri sendiri?

Karena dunia ini hanya dimensi waktu yang sebentar dan sementara. Jadi kenapa tidak, mumpung masih hidup menciptakan model terbaik dari diri kita. Terbaik yang bisa dicapai dengan berusaha memberdayakan diri menjadi pribadi yang tidak sia – sia karena telah diciptakan.

Tentang perjalanan

Sudah dari bulan September saya mendambakan untuk pergi ke Gunung Buthak. Hal ini muncul ketika saya membaca sebuah artikel mengenai deretan pegunungan Kawi yang jika di saksikan dari kejauhan seperti putri yang sedang tidur. 
Gunung Buthak memiliki ketinggian 2868 mdpl merupakan puncak tertinggi dari rangkaian Pegunungan Kawi. Saya merasa tergelitik untuk pergi kesana, ingin melihat seberapa jauh saya bisa melangkah dan ingin menguji seberapa karib saya dengan diri saya. (hah! Memangnya pernah tidak karib? Ya, dan itu akan saya ceritakan nanti, tunggu saja)

Minggu, 18 November 2018 dengan pengetahuan yang ala kadarnya, serta bekal yang secukupnya karena hanya menginap satu malam. Saya pun nekat untuk berangkat!
Saya berangkat dari tempat kos saya sekitar pagi pukul 07:00 WIB. Sesampainya di Parang Tejo Desa Prici, Kec. Dau, Kab. Malang, jalur yang saya pilih karena lebih dekat dengan Kos saya pada pukul 08:44 WIB. Disana saya melakukan pelaporan ingin melakukan pendakian dan disitu bertemu dengan Pak Riswadi petugas loket dan anggota keamanan untuk daerah pariwisata Coban Parang Tejo. 
Beliau memberikan pengarahan bahwa trek atau medan yang akan saya lalui ini cukup sulit karena selama perjalanan jalur yang dilewati terus menanjak serta lebatnya hutan tropis dan lumut. Pengarahan dari Pak Riswadi cukup membuat saya semakin tertantang. Setelah berdoa dan berpamitan saya pun mulai berjalan. 

Sejenak Berdiam

Ini adalah kali pertama saya, merasakan jalur yang terus menanjak selama 5 jam. Rasa lelah dan cuaca yang berkabut hingga rintik gerimis hujan membuat saya untuk berhenti dan mendirikan tenda, berjaga-jaga apabila hujan deras. Setelah tenda berdiri, saya mempersiapkan diri dengan mengganti kaos kaki dan membuka sleeping bag. Baru saya menyadari bahwa saya melupakan jaket saya di Parkiran Motor, tak memungkinkan untuk kembali sayapun memutuskan untuk berdiam diri dalam tenda melakukan meditasi. 
Suasana tenang, suara burung dan angin yang bergesekan dengan dedaunan serta tenda saya menjadi latar belakang musik yang menyenangkan buat saya. Sejenak berdiam membuat saya menyadari bahwa saya kagum dengan apa yang telah Tuhan ciptakan, semesta yang terus mendukung perjalanan, serta rasa berterima kasih pada diri sendiri bisa sampai sejauh ini. 
Bagi saya puncak adalah bonus dari perjalanan saya, berniat bermalam dimana saya mendirikan tenda membuat saya merasa cukup dalam menantang diri saya. Namun, semesta sepertinya lebih tau isi hati saya. Seberes bermeditasi turun hujan dengan deras, dalam hujan akhirnya saya beristirahat tidur. 
18:00 WIB, sebuah suara menyapa dari luar tenda. Suara laki-laki “Permisi…permisi di tenda berapa orang?” Awalnya saya sempat ciut jelas saja saya sendirian di tengah hutan. Saya menenangkan diri dan melihat jam pada handphone ‘masih sore ga mungkin hantu’ pikir saya. Lalu membalas sapaan dari dalam tenda “Saya satu orang, Pak” balas saya, lalu saya bertanya “Bapak mau beristirahat? Saya ada biskuit dan Air putih.” Suara laki-laki itu langsung menjawab “Mbak, sendirian? terima kasih Mbak saya mau lanjut naik.” Mendengar hal tersebut saya memberanikan diri untuk membuka tenda dan melihat sosok yang menyapa saya. “Boleh saya ikut, Pak?” melihat laki-laki tinggi sekitar 167 cm menggunakan septu bot, jaket dan topi serta membawa ransel kecil. Beliau tersenyum dan memperbolehkan saya untuk ikut dan membantu saya membereskan tenda. 

18:30 WIB akhirnya memulai perjalanan menuju ke Savanna selama 1,5 Jam perjalanan akhirnya saya dan Pak Mo sampai di savanna bertemu dan berkumpul dengan teman-teman Pak Mo. Pengalaman baru saya tidur tanpa tenda kami tidur di lubang tanah dan dihangatkan oleh api unggun.
Subuh 04:30 WIB kami memutuskan untuk melanjutkan menuju puncak Gunung Buthak. 30 Menit mendaki jalur yang lumayan berat membuat saya sangat lelah. Namun hal itu terbayar lunas ketika memandang Banyaknya Gunung di sekeliling Gunung Buthak seperti Gunung Welirang, Gunung Panderman, Gunung Arjuna, dan Mahameru yang menghadiahkan saya mentari terbit dibaliknya. Puji Tuhan.
Selfie Setelah Menikmati Sunrise

Rendah Hati 

Puji Tuhan, dan tak henti-hentinya saya menyampaikan kepada Tuhan. Saya berterima kasih juga pada diri saya dapat mencapai sejauh ini. Rasa haru dan bangga menyelimuti diri saya tidak akan saya mendapatkan bonus puncak ini tanpa bantuan Tuhan lewat Pak Mo dan kawan-kawan. Apalah saya yang hanya sekecil ini di dunia ini. Dari perjalanan ini saya belajar untuk terus bersikap rendah hati dan berani. Rendah hati dalam berbicara, bersikap apa adanya, dan menghargai sesama. Sampai Jumpaaaa!!
Terima Kasih Pak Mo dan Kawan-kawan 💚💚

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *